Gadis tersebut meraih diary dimeja yang ada
disamping tempat tidurnya, ini sudah pukul 04.00 dinihari tapi pikirannya tak
kunnjung ingin terlelap, terus bercakap dengan hati dan jiwanya, ia menatap dua
tubuh penuh kelelahan, lelaki dan perempuan yang sedang tertidur lelap
disampingnya masih dalam keadaan duduk dengan kepala mereka direbahkan ditempat
tidurnya. Gadis tersebut terlihat sangat lemah, tubuhnya kurus kering dan
tulang pipinya samar-samar menojol matanya tak bercahaya selayaknya gadis
seusianya, dengan tangan kurusnya ia mulai menulis dalam diarynya:
“ sejak kecil aku percaya bahwa hidup adalah
sebuah anugerah terindah yang harus selalu dinikmati dengan bermain dan
bermain, melompat, bernyanyi,tertawa dan semuanya yang menyenangkan bahkan aku
sering dikatakan cewek tomboi karena hobiku bermain bola dengan laki-laki yang
menurutku sangat menyenangkan bisa berlari-lari daripada bermain dengan dengan
boneka layaknya gadis seusiaku, so beautiful.., tapi bukan hidup jika semuanya
berjalan begitu indah, tepatnya saat aku mulai menjadi siswi SMP, saat itu
segala hal yang dilakukan anggota keluargaku adalah derita bagiku, adik
laki-lakiku yang cengeng,kakak perempuan yang hobinya terus mangkal didepan
cermin dasar pesolek, dan kakak laki-lakiku yang maniak komputer yang terus
bicara tentang dunia komputer disetiap sekon hidupnya, ibu yang suka mengatur
dan ayah yang selau marah jika aku pulang dari rumah teman terlalu malam, Aku
dilahirkan dikeluarga yang salah, ini neraka. itulah yang selau kukatakan dalam
hati setiap melihat tingkah mereka. Tapi cahaya memang tak penah hilang hanya akan
sedikit terlambat,cahaya adalah saat aku dikenalkan dengan perasaan abstrak
yang sangat sulit dijelaskan.CINTA.”
Gadis tersebut memegang kepalanya yang
sedikit pusing karena mengingat saat itu,nafasnya ditarik dalam-dalam dan
seperti ada kekuatan yang mengalir ia melanjutkan tulisannya
“ENO. Dialah orang yang membuat kehidupan
saat itu menjadi lebih baik, seperti cahaya mentari pagi yang menghapus
kegelapan sedikit demi sedikit. Saat itu Eno baru pindah kesekolahku saat
semester II dikelas VII, Eno terlihat sangat mempesona saat itu bukan hanya aku
tapi semua cewek dalam kelasku juga terpesona, dan saat itu aku merasa paling
beruntung karena Eno ditempatkan disebelahku, sejak saat itu aku menjadi lebih
dekat dengan Eno dari yang Cuma ngomong kalau perlu jadi ngbrol berjam-jam
sepulang sekolah dan di telpon, dari yang Cuma ketemu kalau disekolah sampai
ketemu dirumah untuk belajar bersama dan kamipun mulai menjalani sebuah
hubungan yang sangat rumit, perasaan kami terus digantung karena tak ada
diantara kami berdua yang berani untuk mengungkapkan rasa itu, begitulah kata
temanku, dan bodohnya aku sepaham dengannya karena Eno terlihat sangat tidak
senang bila aku didekati pria lain,ah... bodohnya aku saat itu. “
gadis tersebut memijit kepalanya pelan lalu
kembali menulis,
“ namun seindah apapun mentari pagi pasti
akan tiba saatnya ia terbenam dan menyisahkan malam yang temaram, setelah
menjalani kisah yang rumit beberapa tahun bersama Eno, aku dan Eno akhirnya
masuk ke Sma yang sama dan ditempakan dikelas yang sama, sungguh aku sangat
bahagia waktu itu,tapi temaram itu kian pekat telah tiba, saat aku divonis
dokter menderita penyakit aneh ini yang membuatku harus menginap dirumah sakit.
yang bahkan aku sendiri Tak tahu namanya, orang tua selalu mengatakan aku
baik-baik dan hanya butuh istiharat, tapi naluriku berkata lain, dari mata
mereka tersimpan kekuatiran yang besar walau mereka selalu menutupinya dengan
senyum mereka, apalagi sudah 6 bulan aku berada ditempat ini membuatku yakin
aku tidak baik-baik saja.”
Gadis itu berhenti sejenak menatap tubuh
lemas orang tuanya kedua ortunya dan kembali menulis
“sejak aku menderita penyakit ini
teman-temanku banyak yang meninggalkan aku bahkan Eno yang dulu sering
menjengukku kini tak pernah datang lagi, aku mulai sadar kalau Eno tak pernah
punya perasaan padaku kalaupun ada mungkin hanya kagum dengan diriku,tapi kagum
pada apa? Pada wajahku, ah... wajahku tak semanis model iklan,kepintaranku?aku
bukanlah siswi yang pandai,walaupun aku dijuluki siluman Matematika, tapi itu
tak penting lagi, ilmuku tak mampu merumuskan apa-apa terkait penyakitku, ilmu
pengetahuan yang ku pelajari tak berdaya saat aliran waktu memberi tegukan
kepahitan.”
“Tapi tak apa Tuhan masih sangat baik padaku
walau masih sulit kuterima kalau Eno sudah meninggalkan aku, Tuhan masih sangat
baik padaku, keluarga yang aku anggap menyebalkan ini terus ada didekat memberi
dorongan untukku, Ayah dan ibu rela meninggalkan segala rutinitas mereka demi
terus berada disisiku, kedua kakak dan adek kecilku yang selalu datang
menjengukku sepulang sekolah, Doa dan perhatian mereka membuatku belajar
tentang ketulusan cinta yang sebenarnya, keluarga ini, keluarga yang dulu amat
kubenci, dari merekalah aku merasakan tulus dan arti cinta bagi kehidupan ini bukan
dari ilmu pengetahuan, bukan dari temanku dan juga bukan dari Eno tapi dari
keluarga ini sebagai saluran cinta Tuhan.”
Gadis tersebut mememijit kepalanya lagi,
kepalanya kembali pusing bahkan lebih parah dari sebelumnya, ia menarik
nafasnya mencoba meberi kekuatan pada tubuh terutama tangannya yang makin lemah
untuk memegang pulpen lalu ia kembali menulis,
“ terimah kasih......” pulpen tersebut
terjatuh dari tangannya dan membangunkan kedua orang tuanya, deretan huruf
didepannya mulai mengabur tak terbaca, ia
tak punya kekuatan lagi untuk menopang tubunya dan ia terebah ditempat
tidur,
Melihat hal itu ibunya panik dan terus
memanggil dokter, ayahnya berlari mencari dokter, dan wajah panik ibunya yang
selalu disembunyikan terlihat olehnya walau terlihat samar.Dokter berusaha
dengan sekuat tenaga tapi tak mampu menyelamatan nyawa gadis tersebut.
sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya ia
membatin kalimat-kaliamat yang tak sempat ia tuliskan, “teriamah kasih untuk
kesempatan hidup dari Tuhan, selamat tinggal untuk tawa dan airmata yang pernah
ada dalam hidupku, terimah kasih atas segala hal terutama cinta dan kasih yang
telah kalian beriakan, keluargaku. Aku akan menunggu kalian agar dapat berbagi
cinta lebih lama dengan kalian tapi jangan datang terlalu cepat biarlah rindu
berakar dalam hati kita, sekali lagi terimah kasih untuk waktu yang telah
kalian beriakan, tiap doa dan perhatian dalam semua lusinan jam yang telah
diberiakan padaku walau semuanya terasa seperti hanya sedetik.”
By: Dwi alendra ipang selly
No comments:
Post a Comment